Pasa Lereng, Bukittinggi, laluan semakin sempit. Inilah kota yang kepayahan menanai PKL-nya. Bahkan alun-alun Jam Gadang, terasa kian sempit saja, meski sudah diperlebar.
“Pakaian lalok, training sarawa hawaii, tigo saratuih, kamarilah,” kata pedagang di lapak-lapak Pasa Lereng, Bukittinggi, Ahad (24/11/2024).
Jalan menuju lokasi kios nasi kapau, semakin sempit saja. Ini, karena pemilik lapak mendorong ke depan lapaknya, sekitar 30 sampai hampir satu meter. Jika semua mundur lagi, jalan akan makin lapang. Jika semua.
Ibukota liburan ini, sejauh itu, masih tujuan liburan rakyat Sumbar terbaik, disusul beberapa lokasi lain, tentunya.
Bukittinggi, bukannya sempit tapi pemko nyaris hilang akal sepertinya, menata pasarnya. Pasar Atas misalnya, penuh ruko dan pasar baru dibangun bertingkat. Ruko itu walau bertingkat.
PKL luar biasanya banyaknya, termasuk penjual gulali, 10 biji sekali bawa dengan cara didorong.
Jam Gadang buatan Belanda 1926 itu, saksi betapa luar biasanya rakyat berjuang cari nafkah.
Tak jauh dari sana sebelah kiri Pasar Atas nan gagah itu, luas tanah kosong yang terbengkalai. Kabarnya milik orang per orang. Jika saja pemko bisa bersepakat dengan pemilik, entah bagaimana caranya asal baik, akan legalah. Pasar Atas lega dan di lokasi itu dibangun los. Pasar lapang, atap tinggi, lega. Apapun namanya yang disukai walikota.
Dan: parkir di bawah tanah di Pasar Atas, manual lagi, padahal dulu sudah pakai sistem yang baik. Bukittinggi, kata seorang pengunjung, Eni, sudah berubah.
“Saya kehilangan kota masa kecil saya,” katanya. Yang tersisa hanya dua, Jam Gadang dan Lubang Jepang. Keduanya buatan penjajah.
Jam itu berdentang sekali. Pukul 01.00 siang. Pengunjung ramai. Maklum hari libur. Jam Gadang itu, marasai benar kena foto. Namun, tabah.
Lalu Lintas padat. Los lambuang stasiun tampak gagah, kata orang, mulai kosong. Padang Lua macet lagi. Saya rindu gubernur baru nanti, mengerjakan jobnya, bukan banyak yang dikerjakan, tapi bukan pekerjaan dia, melainkan bagian dari gawe pak camat.
Bukittinggi adalah tempat mengadu, tapi keluhannya, tak pernah bisa terurai.
“Tigo saratuih, kamarilah,” suara itu masih mengiang. Saya sudah di Koto Baru, yang telaganya sudah tertutup bangunan dan eceng gondok.
Pasar sayur di sana ramai, membuat jalan macet di sana padat merayap. Kisah kita soal Padang ke Bukittinggi sejak dulu itu ke itu saja ya ndak. Makanya diperlukan gubernur yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. (***)